Minggu, 26 April 2009

TULISAN AHLI TENTANG PROBIOTIK

MEMAHAMI BAHASA BAKTERI

Antonius Suwanto, Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor

Perilaku individu manusia cenderung berubah bila berada dalam suatu kelompok besar. Sejumlah orang secara beramai-ramai dapat bertindak beringas dan membakar maling ayam atau maling motor. Dalam suatu demonstrasi, sejumlah orang dapat secara bersama-sama merobohkan pagar besi yang kokoh. Sejumlah orang dapat bekerja secara gotong royong untuk membangun suatu jembatan. Sekelompok orang juga dapat menghasilkan paduan suara yang sangat harmonis dalam suatu konser musik. Padahal, perilaku beringas, akumulasi kekuatan yang dramatis, dan ekspresi paduan suara yang harmonis mungkin tidak dapat terjadi bila dilakukan sendirian.

Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa ekspresi atau perilaku manusia banyak yang dipengaruhi oleh kumpulan orang di sekitarnya. Bahkan, untuk mengambil suatu keputusan, seringkali dibutuhkan kehadiran sejumlah manusia lain agar tercapai quorum, yaitu jumlah minimal hadirin agar keputusan yang diambil menjadi sah.

Meskipun demikian, perilaku yang tergantung pada quorum ini tidak unik pada manusia dan hewan. Fenomena ini ternyata merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh bakteri dan mungkin telah dipraktikkan di Bumi ini sejak sedikitnya tiga milyar tahun yang lalu. Apakah bakteri bisa mengadakan pertemuan (semacam rapat DPR atau MPR) lalu mengambil keputusan setelah mencapai quorum? Jawabannya ya, dan pengambilan keputusannya melibatkan suatu networking molekuler yang sangat canggih yang baru kita ketahui dengan baik sekitar satu dasawarsa terakhir ini.

Sejumlah bakteri dapat secara beramai-ramai dan serempak menghasilkan cahaya, suatu peristiwa yang disebut bioluminescens, bila telah mencapai suatu quorum. Peristiwa ini dapat diamati saat terjadi serangan penyakit "kunang-kunang" pada benur atau larva udang di sejumlah panti pemeliharaan benur (shrimp hatchery). Pada malam hari benur tampak seperti kunang-kunang yang berenang di dalam air dan memberikan kesan pemandangan yang indah. Sayangnya, keesokan harinya hampir semua benur ditemukan mati. Apakah yang terjadi? Suatu spesies Vibrio (bisa V. harveyi atau V. campbelli) merupakan bakteri laut yang umum dijumpai pada air laut.

Namun, bila jumlah bakteri ini menjadi banyak (lebih dari 100 sel/milimeter air laut atau air payau) atau benurnya dalam kondisi tidak sehat, maka jumlah bakteri ini dapat meningkat dengan cepat di dalam benur sehingga tercapai quorum untuk secara serentak menyalakan "lilin" bioluminescens yang mengakibatkan fenomena kerlap-kerlip pada benur di malam hari.

Celakanya, gerombolan Vibrio tersebut tidak hanya ramai-ramai menyalakan "lilin" tetapi juga mengeluarkan segala macam "benda tajam" berupa koleksi enzim ekstraselular yang akhirnya membunuh benurnya.

Pada benur yang sehat secara normal dapat ditemukan Vibrio harveyi atau Vibrio campbelli tetapi jumlahnya di bawah quorum, sehingga tidak terjadi pesta lilin dan tawuran menggunakan enzim hidrolitik ekstraselular. Mengapa bila jumlahnya mencapai quorum bisa mengubah perilakunya dari saprofit menjadi pembunuh yang beringas?
Jawaban untuk pertanyaan itulah yang sekarang memberikan wawasan baru kepada kita bagaimana bakteri melakukan komunikasi.

Pada sejumlah bakteri gram negatif, termasuk Vibrio, yang telah dipelajari ternyata bahwa kelompok bakteri ini menggunakan senyawa acyl homoserine lactone (AHL) tertentu untuk sinyal komunikasi atau bahasanya. AHL ini umumnya bersifat khusus untuk spesies bakteri tertentu. Sebagai contoh: Vibrio harveyi menggunakan N-(3-hydroxy)-butanoyl-L-homoserine lactone, sedangkan Photobacterium (Vibrio) fischeri menggunakan N-(3-oxo)-hexanoyl-L-homoserine lactone sebagai sinyalnya.

Bila jumlah selnya telah mencapai kepadatan tertentu maka AHL itu akan membentuk kompleks dengan protein pengatur khusus yang akhirnya berfungsi untuk mengaktifkan ekspresi sejumlah gen-gen penyandi enzim-enzim untuk bioluminescence, enzim kitinase, dan protease ekstraseluler, serta faktor-faktor patogenesis lainnya.

Pada umumnya orang dapat menggunakan antibiotika untuk mengendalikan penyakit kunang-kunang atau vibriosis pada udang. Dengan pendekatan ini, kita seperti memberondong para "demonstran bakteri" dengan pistol berpeluru antibiotik. Hasilnya, kalau bakterinya sensitif, adalah kematian massal para demonstran mikro ini mengenaskan. Seringkali mereka mencoba bertahan dengan menjadi resisten terhadap sejumlah antibiotik sehingga tinggal sedikit pilihan antibiotik yang dapat digunakan. Lebih parah lagi, bila antibiotik atau bahan antibakteri yang dapat digunakan itu adalah antibiotik yang dilarang untuk bahan pangan, residu antibiotik yang terdeteksi malah dapat menghambat ekspor udang ke negara tertentu.

Dengan mengerti lebih banyak mengenai cara komunikasi bakteri, maka kita berharap dapat mengembangkan cara pengendalian bakteri yang tidak selalu berbasis antibiotik, tetapi pada pendekatan "kekeluargaan" dengan mencegah terjadinya pengumpulan massa bakteri atau bila sudah telanjur terjadi pengumpulan massa, digunakan cara yang dapat merusak komunikasi bakteri. Dalam pendekatan ini kita tidak berusaha memberantas bakteri, tapi membiarkan bakteri hidup bersama selama perilakunya tidak destruktif, antara lain dengan cara menghambat quorum sensing-nya. Fenomena quorum sensing bakteri tidak hanya terjadi pada Vibrio, tapi ternyata hampir semua jenis bakteri gram negatif menampilkan quorum sensing sebagai salah satu pengatur perilakunya. Bakteri gram positif menggunakan suatu peptida atau protein khusus yang disebut pheromone untuk tujuan yang mirip seperti fungsi AHL pada bakteri gram negatif.

Lebih dramatis lagi, di International Congress of Bacteriology bulan Juli tahun ini, Barbara Bassler dari Princeton University, Amerika Serikat (AS), melaporkan bahwa V. harveyi mempunyai dua macam quorum sensing. Yang pertama adalah yang berbasis AHL untuk komunikasi intraspesies (bahasa nasional) dan satunya adalah sinyal komunikasi baru berupa furanosyl borate diester untuk komunikasi inter-spesies (bahasa internasional).
Pengetahuan yang baru ini memberikan strategi alternatif dalam usaha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen pada manusia, hewan, dan tanaman. Banyak perusahaan farmasi mengalokasikan sejumlah dana untuk secara khusus meneliti bahasa bakteri ini dengan harapan dapat diperoleh bahan pengendali bakteri yang baru. Indonesia sebagai salah satu megabiodiversitas dunia mempunyai banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam pencarian senyawa biologis antibakteri yang mekanismenya tidak saja terbatas pada pemberantasan atau antibiosis, tapi dengan cara menghambat komunikasi antar sel-sel bakteri.

Penghambatan komunikasi itu dapat terjadi antara lain karena senyawa atau mikroorganisme tertentu menghambat kerja AHL atau ekspresi gen-gen yang dipengaruhi oleh quorum sensing. Senyawa itu dapat berupa prebiotik, dan mikroorganismenya dapat berupa probiotik. Pengetahuan tentang quorum sensing pada bakteri juga menyampaikan pesan bahwa rekayasa perilaku sosial melalui pengumpulan massa merupakan fenomena klasik yang hampir setua sejarah kehidupan di Bumi.

Pengumpulan massa dapat digunakan untuk mengeskpresikan sesuatu yang bersifat konstruktif dari sudut pandang manusia (contohnya quorum sensing untuk memproduksi antibiotika pada Erwinia carotovora, atau pembentukan biofilm pada proses bioremediasi), atau yang destruktif (contohnya pada proses terjadinya penyakit infeksi oleh bakteri, atau pembentukan biofilm oleh bakteri patogen yang menyebabkannya menjadi resisten terhadap sejumlah bahan antibakteri. Pada manusia, yang dapat berpikir rasional, maka quorum sensing mestinya dapat diarahkan untuk hal-hal yang bersifat konstruktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar